Seminar Nasional HAKORDIA 2025 Soroti Upaya Memutus Mata Rantai Judicial Corruption

Dec 10, 2025

Jakarta, 9 Desember 2025 – Dalam rangkaian Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) 2025, Mahkamah Agung Republik Indonesia menyelenggarakan Seminar Nasional bertema “Memutus Mata Rantai Judicial Corruption: Sinergi Pengawasan, Penindakan, dan Integritas Moral.” Seminar ini menghadirkan pemateri dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA), serta Komisi Yudisial RI.

Seminar ini menjadi forum strategis untuk memperkuat upaya pencegahan dan penindakan korupsi di sektor peradilan melalui kolaborasi lintas lembaga serta penguatan etika dan integritas aparatur.

KPK Paparkan Penindakan dan Pencegahan Korupsi di Sektor Peradilan

Plt. Direktur Penuntutan KPK, Joko Hermawan, memaparkan pola tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat peradilan. KPK mencatat sedikitnya 28 perkara melibatkan hakim dan 14 perkara melibatkan panitera/PNS dalam beberapa tahun terakhir.

Beberapa modus utama yang diungkap KPK meliputi:

  • Suap untuk mempengaruhi putusan, termasuk vonis bebas atau keringanan hukuman.
  • Suap pengurusan administrasi perkara, seperti percepatan sidang, pemilihan majelis, atau penundaan eksekusi.
  • Gratifikasi terkait jabatan untuk menjaga kedekatan dengan pejabat peradilan.
  • Pemanfaatan perantara, terutama panitera atau hakim yustisial, yang memiliki akses langsung ke berkas dan majelis.

KPK juga menekankan pentingnya LHKPN sebagai instrumen deteksi dini untuk mengidentifikasi kekayaan tidak wajar, serta mengungkap berbagai pola penyembunyian aset, mulai dari penggunaan nama keluarga hingga pembelian aset secara tunai.

Bawas MA Paparkan Arah Kebijakan Strategis Pengawasan dan Penegakan Integritas di Lingkungan Mahkamah Agung

Plt. Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Suradi menegaskan bahwa judicial corruption adalah kejahatan luar biasa yang merusak integritas lembaga dan mengancam kepastian hukum.

Memaparkan tiga akar terjadinya korupsi peradilan:

  1. Kebutuhan – aspek kesejahteraan aparatur;
  2. Kesempatan – lemahnya sistem pengawasan;
  3. Keserakahan – integritas moral individu.

Mahkamah Agung telah menyusun kerangka besar pengawasan melalui:

  • Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025,
  • Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010–2035,
  • Penguatan pengawasan fungsional dan melekat secara simultan.

Dalam pemaparan juga menyoroti tantangan pengawasan, seperti keterbatasan SDM Bawas terhadap hampir 900 satuan kerja, serta kebutuhan modernisasi melalui digitalisasi pengawasan, termasuk aplikasi Wastitama dan Waskitama untuk pemantauan kinerja aparatur. Ia menegaskan komitmen pimpinan Mahkamah Agung terhadap zero tolerance:

“Jika masih ada aparatur yang terlibat praktik transaksional, tidak akan ada rasa iba untuk memberhentikan.” — Ketua MA.

Komisi Yudisial Paparkan Peran Komisi Yudisial Menjaga dan Menegakkan Keluhuran Martabat Hakim dan Mencegah Judicial Corruption

Anggota Komisi Yudisial, Sukma Violetta memaparkan peran KY dalam menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim sebagai bagian dari pencegahan judicial corruption.
KY mengidentifikasi tiga bentuk utama korupsi peradilan:

  • Judicial bribery (suap penanganan perkara),
  • State capture (intervensi eksternal terhadap putusan atau majelis),
  • Promosi dan mutasi non-merit, yang tidak berdasarkan kompetensi dan integritas.

Dampak judicial corruption sangat serius, karena menggerus prinsip justice dan rule of law.

KY menggarisbawahi strategi pencegahan, antara lain:

  • Penguatan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH),
  • Seleksi hakim berbasis merit system,
  • Pengawasan internal–eksternal yang efektif sesuai UNCAC,
  • Transparansi peradilan dan pelibatan publik.

Pada bagian sesi penutupan Seminar Nasional HAKORDIA 2025, para narasumber menyampaikan pesan moral yang kuat mengenai pentingnya integritas dalam memutus mata rantai judicial corruption. Plt. Direktur Penuntutan KPK, Joko Hermawan, menegaskan bahwa korupsi tidak hanya mencoreng pelaku, tetapi juga melukai keluarga, sembari mencontohkan seorang anak berusia sembilan tahun yang mengalami tekanan psikologis setelah orang tuanya terjerat OTT. Anggota Komisi Yudisial, Sukma Violetta, menambahkan bahwa profesi hakim adalah profesi mulia yang dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada masyarakat, tetapi juga di hadapan Tuhan, sehingga hakim harus menjadi teladan integritas. Plt. Kepala Badan Pengawasan Suradi mengingatkan bahwa integritas bukan sekadar pengetahuan, tetapi harus dihayati, diimplementasikan, dan dijaga melalui saling mengingatkan antara aparatur.